LAKA
Kalam-kalam
Ilahi mengalun di setiap sudut telingaku. Lafadz-lafadz lirih yang terucap dari
lisan-lisan mencari ridho Ilahi bak suara biola terlepas atas dawainya, sedetik
pun tak pernah nampak dibenakku juga tak pernahku gadang sebelumnya tuk ijakkan
kaki di tempat yang beralas ubin-ubin berlubang sana-sini nan dingin di saat
menjelang fajar. Tak pelak semua itu buatku makin tak betah tuk berlama-lama di
tempat ini. Kumasih terbayang akan nasib kawan dan pujaan hati, lima hari
sebelum kedatangan ku di tempat ini, ku masih bersama mereka ditempat indah nan
sejuk. Momen yang sulit tuk
melupakannya, hari pun beranjak petang sang mentari telah tidur manis di
peraduannya. Panggilan Sang Ilahi menggema di langit biru kemerah-merahan
pertanda tuk menghadap Sang Ilahi bagi orang yang beriman pada ajaran sang nabi
penutup.
Sesampainya
di rumah, aku sucikan diriku dari kotoran dan
keringat. Terdengar suara mama memanggil ku dari luar bilik.
"Nabila Ariska kesini nak, ditunggu papa
diruang tamu," ujar mama. "Ia ma, ku akan cepat kesana," ujarku
sambil tangan sibuk merapikan baju.
Aku pun melangkah
mendekati mama dan papa di ruang tamu dengan hidangan secangkir teh yang
masih hangat. Aku duduk disebelah mama.
"Ris, Papa ingin mengajukan pernyataan
padamu." memulai
perbincangan diantara kita.
Sontak aku kaget karena jarang sekali ayah
bertanya padaku, akupun juga jarang bersamanya karena dari pagi aku keluar
bersama kawan-kawan ku tak ketinggalan sang pujaan hatiku, dan akupun kembali
saat mentari telah tidur manis diperaduannya. Nafasku makin tak teratur karena pernyataan Papa yang di
ajukan padaku.
"Ris, jadi Papa akan memindahkan sekolahmu ke lingkungan berbasis
pondok pesantren dan sekaligus dirimu akan bersinggah di pesantren itu," ujar papa dengan tatapan tajam terarah padaku.
Mendengar ujaran
papa diriku terkulai lemas bak jasad tak bertulang. Waktu seakan terhenti dan
otakku kosong tak berisi, ku juga tak habis pikir sedari kecil kutak pernah
belajar pendidikan agama layaknya anak pada umumnya sholat, puasa selalu ku
tinggalkan karena ku tak tahu niat maupun cara melakukannya, yang ku tahu
hanyalah dua kalimat penanda seorang beragama wahyu, yaitu Islam.
"Kok gitu sih Pa,
diakan anak semata wayang kita masak Papa tega ia jauh dari kita," ujar
mama yang kaget akan pernyataan papa.
"Apakah mama
tak menyesal bila nanti anak kesayangan kita bergaul dengan bebas diluar sana
tanpa sepengatuan kita, apa yang ia lakukan kan kita tak tahu," ujar papa
menimpali pertanyaan yang di ajukan mama.
"Enggak, nggak
dan nggak. Riska tak sudi papa sekolahkan disitu." Air mataku berlinangan di pipi tirusku yang halus nan putih.
Pikiranku pun melayang bagai elang yang mencari mangsanya.
Tak ingin ku tinggalkan sang pujaan hati karena ku sudah memimpikan bersanding
dengannya bila ku telah menamatkan pendidikanku. Dan juga ku tak ingin
tinggalkan kawan-kawan setiaku serta fasilitas yang ku nikmati selama ini tapi
apa daya diriku hanyalah seorang anak perempuan andai saja aku anak laki-laki
ku akan lari dari rumah ini. Tapi disisi lain ku tak ingin durhaka pada
keduanya, ku tinggalkan mereka dengan sesenggukan. Mungkin inilah suratan
takdir sang pencipta.
“Riska, besok Papa
akan mengantarmu ke pondok pesantren, mau nggak mau kamu harus turuti apa kata
papa dan kamu ma, tugasmu mempersiapkan semua keperluan Riska di pondok
pesantren faham!!!” ujar Papa dengan nada kesal.
Aku menangis
sekeras-kerasnya di bilikku. Ku tak terima bila masa remajaku dihabiskan ditempat itu.
“Udah sayang,
hentikan tangisanmu. Mungkin jalan itulah jalan terbaik bagimu,” ujar mama sambil melangkahkan kaki menuju arahku.
Aku sontak kaget akan kedatangan Mama yang secara tiba-tiba dan Mama duduk di samping ku.
“Ma please!!! tolong bilang ke Papa Riska nggak mau dan nggak kuat bila harus meninggalkan
semua yang Riska miliki,” dengan meneteskan air mata.
“Mama nggak bisa
sayang Papamu
itu seorang yang kolot dan keputusan papa sudah bulat,” ujar Mama yang ikut meneteskan air matanya, sembari ia
membelai-belai rambut hitamku.
Mama pun pergi
dengan kepala tertunduk kearah ubin-ubin putih dengan berlinangan air mata.
Sepertinya Mama tak mau kehilangan diriku dan tak tega melihat sang
anak semata wayangnya hidup kekurangan dengan jarak yang begitu jauh.
Detik demi detik
terasa sangatlah lambat seperti tak ada daya tuk melangkah ke detik yang lain.
Aku pun tenggelam di alam bawah sadarku ku terbangun dan ku sibak gorden
jendela bilikku. Ternyata
embun pagiku beranjak pulang dan kini tergantikan sang sinar mentari yang kini
mulai meninggi seolah mimpi buruk sedang menerpaku kali ini.
“Ris, Riska. Turun
sayang,”
teriak Mama
dari bawah tangga.
Akupun turun dan
kutuju ruang makan dari kejauhan kulihat dua potong roti yang teroles selai di
tengahnya.
“Ris , gimana
sehatkan? Mama telah persiapkan segala yang kau butuhkan nanti,” tanya Mama padaku.
Ku balas dengan
senyuman kecutku padanya, akupun duduk di kursi yang bersebelahan dengan Mama. Ku kunyah roti ku dengan seribu kunyahan agar
kepergianku bisa terulur-ulur. Dari dalam, ku dengar deruan suara bising mobil papa yang masih terkurung
di garasi. Seketika
ku letakkan rotiku yang baru ku gigit satu kali.
“Lho sayang, kenapa
rotimu tak kamu habiskan? Dah nggak sabar ya?” dengan jari telunjuk teracungkan ke arah rotiku tadi.
Ku tinggalkan Mama
dan ku berlari ke bilikku. Kukunci rapat-rapat dari dalam, kuraih ponselku dan
ku pandang foto sang pujaan hati ku dalam-dalam , hingga tak tertahankan
tetesan-tetesan bening embun mataku pertanda keriduanku yang mendalam padanya. Kemarin
ku masih bercanda tawa denganmu, ku masih bisa memandang wajah tampanmu,
mungkin kini, esok, atau lusa ku tak bisa menikmati ketampananmu. Selamat jalan
pujaan hatiku, semoga engkau mendapat insan yang lebih dariku .
“Ris, Riska ayo
cepat sayang nanti Papa mu
keburu marah pada kita.” teriak mama dari luar rumah.
Akupun keluar
dengan tampilan kain penutup rambut seadanya, karena sejak kecil ku tak pernah
mengenakannya. Betis ku serasa tak ada pengokohnya tuk ku langkah kan ke luar,
berat dan berat itulah yang kurasa, tak kusangka inilah detik-detikku tak lagi menampakkan
kaki di surga ini, semua yang ku punya akan ku tinggalkan, ku tak akan bisa
merasakan empuk dan hangatnya ranjang kesayanganku. Mama dan Aku segera masuk ke dalam mobil karena Papa sudah lama menunggu kita berdua di belakang setir
mobil.
Sesekali ku pandang
wajah Mamaku dari raut mukanya mengisyaratkan ketidak relaannya untuk jauh dari
anaknya. Sepanjang perjalanan ku hanya dapat membisu seribu bahasa semua pertanyaan
yang di ajukan baik dari Papa maupun Mama tak ku jawab, ku hanya diam, diam ,dan
diam serasa mulut ini sulit tuk melontarkan sebuah kata-kata. Fikiranku pun
tertuju pada kawanku nanti bila ku pulang ku pasti akan di ejek, dijauhi, atau
bahkan dicemooh tapi biarlah karena ini bagiku sebuah tantangan hidup yang
harus ku lewati. Betapa terkejutnya diriku tiba-tiba Papa memakirkan mobil yang kami tumpangi di sebuah lapangan. Telah kulihat ternyata ku telah
sampai di pintu masuk sebuah pondok pesantren yang Papa bilang . Ku langkahkan menjauhi mobil dan ku pandang keatas, tak ku sangka ternyata bangunannya terlihat megah.
Ku pandang wajah
satu persatu insan yang menghuni pondok pesantren ini mereka begitu ceria
seakan tak memiliki beban yang berarti.
“Apakah diriku bisa
seperti mereka-mereka yang bisa menampakkan raut muka yang berseri-seri walau
mereka punya beban yang lebih berat dari diriku.’’ gumamku dalam hati kecilku.
Papa pun tak tahu dimana
kantor untuk mendaftarkan diriku, aku papa dan mama mondar- mandir kesana
kesini mencari tempat itu. Papa yang berjalan di depan ku layaknya seorang
induk ayam yang selalu memandu anak anaknya. Mama mengajak aku dan papa untuk
rehat di bawah pohon yang teduh, tetapi papa tak pantang menyerah ia terus
mencari, ia akhirnya lelah dengan sendirinya ia memutuskan bertanya pada
seorang bapak bapak yang mengenakan jas coklat yang duduk bersebelahan dengan
kami, tak berapa lama Bapak itu mengantarkan kita ke kantor pondok.
Aku masuk kedalam dengan Papa
yang ternyata disitu sudah ada tiga perempuan yang sedang ngobrol. Papa
mendaftarkan namaku untuk menjadi santri di sini, istilah santri kudapat saat
Aku dan Papa sedang duduk di dalam, saat itu ada seorang wanita paruh baya yang
meminta tolong guna memanggilkan anaknya yang sedang nyantri di pondok ini.
Semua administrasi Papa yang mengurusnya sementara Mama duduk di kursi depan
kantorku.
Kumasuki surga baru bersama
sang Mama tercicinta, ternyata semua tak sesuai yang ku bayangkan. Tidurpun
hanya beralaskan ubin ubin yang berlubang di sana sini.
Pikiranku kosong setelah
Papa dan Mama pergi meninggalkan diriku, Aku sendiri tak satupun yang aku
kenal, aku hanya bisa diam duduk di tepian tangga kutak tahu hal apa yang harus
ku lakukan dan aku harus memulainya dari mana, lamunanku terbuyarkan oleh
seorang santri yang menjulurkan tangannya kepadaku. Dari raut mukanya terpancar
keceriaan, kebahagiaan, dan ketenangan.
“Perkenalkan, namaku Nabila
Ariska.” ku memulai perbincangan
“Kalau nama ku Fahimah,”
ujarnya dengan lemah lembut.
Kupersilahkan dia duduk di
samping ku. Kami berdua saling bertukar cerita, kupandang dari cara
berbicaranya ia seorang pendiam. Terdengar suara panggilan sang pencipta
jagatraya yang harus dilaksanakan setiap muslim, yang memancar dari toa toa. Ku
intip jam yang melekat di tangan ku ternyata hampir petang. Dari kejauhan
kulihat seseorang mencengkram sebuah tongkat yang panjang.
“Hei kamu siapa?” ujarnya
seraya menodongkan tongkat.
Kulihat dari bola matanya
pandanganya terpusatkan pada diriku mungkin ia menganggapku sebagai seorang
penyusup.
“Namaku Nabila Ariska,
panggilanku Riska.” ucapku seakan lidahku sedang kelu.
“Ayo cepat ambil sana mukena
mu, nggak tahu apa adzan sudah berkumandang.” Seraya memukulku.
“Berani
beraninya lo mukul gue? nggak tahu apa! gue anak seorang direktur perusahan
batu bara” bentak ku
Tangan Fahimah pun tak henti
hentinya mencubit pinggangku.
“Apaan sih sakit tahu, cubat
cubit pinggangku.” sembari ku hentikan cubitannya.
“Dasar lu ya mentang mentang
santri baru seenaknya sendiri.”
Hanya hal sepele meletuslah
perang antara aku dan dia kita saling jual beli serangan. Fahima pun melerai
perkelahian kita. kami berdua kembali ke kamar guna mengambil mukena.
Ku tarik tangan Fahimah dan
ku tak ingin lagi berkelahi dengannya.
‘’Eh
Ris itu tadi ustadzah lo…. namanya Farhana.’’ dengan suara begitu lirih.
‘’Wah
wah bisa jadi nanti ku dapat hukuman nih.’’ gumam ku dalam hati.
“Ayo kita turun, dan ambil
air wudhu.” ujar
Fahimah.
Akupun memutar otak agar
kejelekan ku tak terungkap olehnya” Iya, nanti ku akan menyusulmu.” ujarku.
Fahimah pun berlalu dengan
muka yang menekuk mungkin ia sedikit kecewa, tapi dalam benak ku aku bersorak
sorak riya karena rahasiaku tak jadi terbongkar. Akupun hanya duduk tersipu
didepan lemari pakaianku.
“He di tunggu nggak datang
datang, ternyata lagi ngelamun.” Memecah lamunan ku.
Tanganku ditariknya dan ku ikuti dari
belakang. Ia merasa heran akan diriku dari tadi kutak memutar keran yang ada di
depanku, ia memandangku dengan penuh curiga.
“Emang kenapa krannya rusak
ya.” Tatapnya dengan penuh
keheranan.
“Enggak kok krannya nggak
rusak.“ Kuteteskan air matak dan ku
tutup muka dengan telapak tangan.
Ia mengajak ku untuk duduk
di depan pintu masuk tanganku di
genggamnya kuat-kuat bagai seorang lelaki yang tak ingin kehilangan gadis
pujaanya .
“Emangnya kenapa kok nangis.”
tanganya engusap tetesan air mataku.
“Diriku sedari kecil tak
pernah mengenyam pendidikan agama, pengetahuan kuakan ilmu agama hanya sebatas
kotoran hitam yang melekat dalam kuku.” dengan senggukan.
“Kamu pasti bisa menjalani
suratan takdir ini bahkan lebih baik dari diriku.” yang ikut meneteskan air
mata.
Ternyata dugaan ku menjadi
kenyataan,selang beberapa menit namaku dipanggil agar menemui ketua pondok di
kantor.
Ku
ketuk daun pintu dengan sekeras mungkin.
‘’Ya
sebentar!!!’’ teriak seorang dari dalam.
Pintu
pun terbuka dengan lebarnya, dan diriku dipersilahkan masuk kedalam.
Kamu
tahu kan yang barusan memukul mu?’’ seraya memukulkan tongkat ketanah.
Ku
hanya menganggukkan kepala ku.
‘’Kasusmu
harus aku laporkan pada orang tua mu.’’ sambil memukulkan tongkat ke bawah.
‘’Oo…
silahkan ku tak takut akan ancaman mu.’’ balik ku seolah sedang menantang nya.
Memang
sejak duduk di bangku SMP, jika ku punya masalah kecil selalu aku besar-besar
kan.
Lantas
malamnya Fahimah mengajari diriku satu persatu ,mulai dari tata cara sholat
yang lebih mendalam serta membaca al-qur’an layak nya anak kecil yang sedang di
didik sang ibu.
Rasa kantuk menghampiri ku,
pelupuk mataku kali ini taktertahankan,sepertinya Fahimah juga merasakan apa
yang kurasa.Ku putuskan tuk pejamkan mata. Ku terbangun,lalu kulihat jam tangan,
alhasil ku telah melewati sepertiga malam yang dingin nya merasuk dalam
tulang.mata ini sangat sulit tuk memejam kan nya hari pertama yang begitu
menyiksa. Dapat kupejam kan mata ini saat fajar mulai menampak kan sinar nya.
Dalam mimpi, ku bertemu dengan imamku, yang biasa menuntun ku kejalan yang
diridhoi Sang pencipta.
Ku terbangun oleh suara berisik
yang berasal dari gedoran Ustadzah yang tepat terkena almari-almari
pakaian.Tetapi ku tak biasa bangun sepagi ini,tapi aku harus bangun ini merupakan
kewajiban bagiku dan setiap insan yang ber iman.Ini saat nya kuamal kan ilmu ku
yang ku peroleh tadi malam.
Esok
harinya ku dengarkan penjelasan guru dengan seksama, sontak diriku kaget atas
kemunculan Papa di depan pintu,ia meminta izin agar ku diperkenan kan ikut
bersamanya. Disepanjang jalan mulut Papa tak hentinya memberi nasehat pada
ku,tapi semua nasehat nya tak ada yang ku respon.
‘’kalau
kamu tak meminta maaf pada ustadzah Farhana
maka Papa tak akan besuk dirimu hingga engkau lulus’’bentak Papa
‘’jika
benar-benar terjadi ku tak bisa memandang wajah Mama’’ batin ku.
Tak
terasa tibalah kami berdua di depan kantor pondok. Papa pun mengetuk pintu, ku
sangat terkejut ternyata yang membukanya, ia lah ustadzah Farhana. Papa menarik
pergelangan tangan ku dan Papa menyuruh diriku untuk mencium tangannya dan
meminta maaf, tak kan ku ulanginya lagi.
Dan kini kuharus hilangkan
sifat sombong ku dan watak ku yang suka berani pada orang lebih tua. Hari-hari
kukuisi dengan mengikuti pengajian kitab dengan Ibu nyai maupun dengan Sang
ustadzah.
Tak terasa dua tahun ku
telah lewati, kini saat nya pembuktian pada Papa bahwa ku sudah bisa merubah
sifat dan watak ku. Kini saat nya ku pulang ke surgaku yang dulu dengan membawa
semua yang kuperoleh dari pondok pesantren. Mandi antri, makan senampan buat
banyak orang ,pinjam meminjam baju, ku tak akan lupakan semua itu dan ku akan
ceritakan pada anak dan cucu ku.
Kini diriku telah bersanding
dengan seorang pemberi lentera sekaligus pendidikku. Dia seorang yang penyabar,
sopan dalam betutur kata. Inilah yang ku sebut sirathal mustaqim yaitu
mendapat kan kebahagiaan dunia dan akhirat. Tak ada kenikmatan tanpa didahului
kepayahan. Sebuah ciptaan takkan bisa mengetahui suratan takdir yang diturunkan
oleh Sang pencipta padanya. Aku bersyukur sebagai seorang yang terpilih
mendapat rahmat dari sang pencipta dari sekian banyak insan penghuni alam ciptaannya.
Andai kata dulu ku masih cinta akan dunia yang fana’ niscaya ku tak bisa
menggapai kebahagiaan di kehidupan abadiku. Kini hidupku lebih bermakna dan berharga
di hadapan sesama insan.
Komentar
Posting Komentar